Tanaman karet merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Riau. Dalam bahasa lokal karet di sebut getah, sama dengan nama yang digunakan di semenanjung Malaya. Bagi saya, menarik untuk mengenal sejarah perkebunan karet di Riau.
Perkembangan Perkebunan Karet tak dapat dipisahkan dari adanya krisis tembakau dan kopi yang menjadi komoditas andalan pemerintah kolonial Hindia Belanda, mendorong pemerintahan Hindia Belanda untuk membangun perkebunan karet. Pada tahun 1864, Perkebunan Karet mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia, dengan pertama kali dibuka di daerah Pamanukan dan Ciasem (Jawa Barat) oleh Hofland perusahaan Belanda.
Jenis tanaman karet yang ditanam di waktu itu adalah karet “rambung” (Ficus elastica). Dan karet jenis Hevea brasiliensis baru ditanam di Sumatera Timur, tahun 1902. Perkebunan Karet di Indonesia lebih berkembang setelah Netherlands Indies membuka pintu bagi para investor asing, terutama dari Inggris, Belanda dan Belgia serta Amerika. Seiring dengan itu, pemerintah Hindia Belanda untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem perkebunan besar (modern) yang dibuka di daerah Indragiri pada 1893.Selanjutnya disusul oleh perkebunan perkebunan lainnya. Sehingga pada 1915, di seluruh Kepulauan Riau, Indragiri dan Kuantan terdapat 12 onderneming. Tanah-tanah erfpacht yang luas di Japura, Kelawat, Sungai Lala, Sungai Parit, Gading, Air Molek dan Sungai Sagu, kemudian dimanfaatkan untuk ditanami pohon karet.
Seiring dengan perkembangan permintaan karet-alam Dunia, terutama setelah adanya pengaruh “boom” harga karet-alam setelah PD II. Perkebunan karet yang dikelola oleh rakyat (perkebunan rakyat) sudah terlebih dahulu di kenal masyarakat Riau, bahkan jauh sebelum diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Petani mendapatkan benih atau bibit tanaman karet dari para jemaah haji yang singgah di Malaysia atau Singapura. Perantau Kuantan di Semenanjung Malaya juga dipercaya sebagai pembawa bibit karet. Sejarah mencatat orang Kuantan - Riau ramai yang merantau ke Semenanjung Malaya terutama akhir abad XIX dan awal abad XX, yang dikenal sebagai “poi ke Kolang”. Di semenanjung Malaya, sebagian perantau Kuantan ada yang berkebun Karet. Selain itu pedagang-pedagang Cina/ tauke (Malaysia dan Singapura) yang membeli produksi karet-rakyat, juga sering membawakan benih-benih karet untuk ditanam. Karena itu tanaman karet sudah merupakan bagian dari budaya kehidupan para petani di Riau. Selain didukung oleh kondisi alam, juga sistem pertanian-kebun bagi masyarakat Riau merupakan suatu bentuk adaptasi di bidang pertanian, karena cengkraman iklim dan kesuburan tanah di Riau yang tidak sebaik di Jawa yang sarat dengan intensifikasi tanaman pangan, maka subsektor perkebunan di Propinsi Riau melaju lebih cepat dibanding dengan sektor pertanian tanaman pangan.
Jadi budaya pertani-kebun yang mendasari kehidupan penduduk di Riau adalah kehidupan pertanian yang berpusat pada lahan kering. Sehingga tanaman-tanaman utama yang telah lama menjadi kesukaan dan setting budaya mereka adalah tanaman karet dan kelapa. Sejarah perkembangan perkebunan karet Inderagiri didominasi oleh perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial ataupun swasta. Perkebunan Karet ini menjadi salah satu daya tarik perantau Jawa untuk migrasi ke Inderagiri dan bekerja di Perkebunan Karet (selain pertambangan minyak).
Tidak heran daerah perkebunan Karet di Inderagiri terutama Airmolek dan sekitarnya bertumbuh menjadi daerah yang multietnik, dengan proporsi penduduk dari suku Jawa cukup besar, jauh sebelum pemerintah menyelenggarakan program transmigrasi. Jejak kejayaan Perkebunan Karet di daerah Airmolek pada masa lalu di antaranya adalah Rumah Sakit Plantagen, milik salah satu Perusahaan Karet pada masa itu. Terakhir saya melihat Rumah Sakit yang sudah menjadi bangunan kosong tak terawat pada tahun 2002. Mudah-mudahan bangunan RS itu masih eksis dan alangkah baiknya bila dikonservasi dan dijadikan benda cagar budaya.
Sementara itu di Kuantan, perkembangan Perkebunan Karet didominasi oleh Perkebunan Rakyat, dengan latar belakang sejarah seperti diuraikan di atas. Baru kemudian pada era 1990an perkebunan rakyat tersebut mendapat perhatian serius pengembangannya oleh pemerintah melalui program Small Holder Rubber Development Project (SRDP).